Saatitu, Selo memukul kepala banteng tersebut sampai menyemburkan darah. Ketika darah menyembur, Ki Ageng Selo memalingkan wajahnya. Karena memalingkan kepalanya itu, Ki Ageng Selo lantas dianggap tidak tahan melihat darah, sehingga Ki Ageng Selo dianggap tidak memenuhi syarat dan ditolak. Nasib seseorang tiada ada yang bisa menerka. penderitaan kadang begitu cepat datang dikala baru merasakan kebahagiaan. itulah yang kini sedang dialami mas joko. baru dua tahun dapat istri bidadari yg cantik dan sangat mencintainya, kemudiaaan tanpa pamit istrinya pergi terbang kekahyangan. anak hasil memadu kasih mereka berdua ditiggal bigitu saja, padahal anak itu masih membutuhkan sosok seorang ibu. betapa berat hidup yang harus dipikul mas joko. setiap malam anaknya , Nawang sih selalu rewel, bahkan kalau menangis makin menjadi-jadi. sehinggga mengganggu tidur tetengga kanan kirinya. kalau sudah demikian , walaupun dg mata mengantuk terpaksalah mas joko membawa Nawang Sih keluar rumah di bawah pohon pisang, seperti pesan istrinya. Ditimang -timang anak itu sambil mas joko tak henti-hentinya menyebut nama istrinya yg telah pergi dengan harapan semoga dapat mendengar tangis anak perempuannya yg masih kecil itu. Anehnya…begitu mas joko menyebut nama istrinya, sekonyong-konyong tangis anaknya diam. bahkan dalam waktu singkat Nawang sih tertidur ppulas di gendongan ayahnya. solah-olah istrinya saat itu berada di dekatnya. Tetpi bagaimana mungkin mas joko dapat menyambut istrinya? apalagii dapat memeluknya kembali seperti dulu-dulu ketika masih berkumpul ? sedangkan melihat saja tidak bisa walaupun hanya sekejap. rupanya sudah menjadi takdir, bahwa mata manusia tidak akan mungkin bisa melihat bidadari dari kayangan. kecuali dulu ketika mas joko bernasib mujur dapat melihat bidadari sedang mandi di sendang. tentu nasib mujur semacam itu tak akan mungkin dapat terulang kembali. Dalam lamunannnya semacam itu kadng-kadang mas joko sambil menggendong anaknya mendengar sayup-sayup suara istrinya ” mas joko…sebenarnya aku masih tetep mencintaimu. tapi bagaimana lagi, aku kini telah kembali menjadi badan halus. sedangkan dirimu adalah badan wadag. cintaku kepadamu adalah langgeng. tidak mengenal waktu. dan suatu ketika kelak, sekalipun dikau telah tiada , aku masih bisa ketemu kembali dengan anak keturunanmu. itulah sebabnya mas jokoku sayang….pelihaaralah baik-baik anak kita Nawang SIh. asuhlah dia dengan sabar ” begitulah sayup-sayup suara istrinya terdengar seperti bisikan. tapi jika diperhatikan lebih lanjut, sesungguhnya yg terdengar itu hanyalah desiran angin malam yang menyapu dedaunan. setelah anaknya tertidur dalam gendongan. kini sebaliknya sang ayahlah yg ganti menangis tersedu-sedu mengingat masa-masa indah dikala masih berama istrinya. Menduda sampai tua Bertahun – tahun mas joko hidup dg hatinya yang telah retak. separuh nyawanya telah pergi. mas joko tidak seperti dulu lagi, kini dia limbung, lunglai dan sering galau.. sawahnya yg luas terbentang terbengkalai. tdk ada yg mengurusi .tepatlah ungkapan orang jawa bahwa ” Garwo istri adalah sigaraning nyowo // separuh jiwa. ” atau sing siji sigar, siji liyane dowo . Namun demikian dia selalu tabah dan sabar dalam mengasuh anak perempuan satu-satunya. kasih sayangnya kepada Nawang sih diharapkan bisa menyembuhkan luka hatinya. meskipun betapa berat ujian hidupnya selama mengasuh Nawang sih. setiap malam ehabis magrib nawang sih selalu rewel seolah menaykan dimana ibunya. tiap malam dia bisa 4 sampai 5 kali harus bangun keluar rumah untuk membawa anaknya ke bawah pohon pisang. empat sampai liam kali pula tiap malam selalu menyebut danmemeanggilnama istrinya ” hai adindaku yg tercinta Nawang Wulan….inilah anakmu Nawang SIh menangis, datanglah sejenak. aku terlalu capek mengasuhnya. apakah tidak lebih baik adinda bawa ke kahyangan saja?? toh dia darah dagingmu sendiri. apa salahnya dia kau asuh disana? ” baru saja mas joko mengeluh demikian, terdengar suara istrinya ; ” Mas jokoku sayang…sabarlah, jika kau kelak berhasil mengasuh dan mendidik Nawang Sih sebagaimana layaknya seorang bapak mendidik anaknya, maka pastilah hari tuamu akan bahagia. ketahuilah kelak jika nawng sih telah dewasa, dia akan ketemu jodohnya dengan pemuda yg masih keturunan raja. dan itu berarti kelak keturunanamu akan menjadi pemimpin pinunjul. bahkan lebih dari itu, keturunanmu selanjutnya akan dapat menurunkan Raja-raja jawa ” Sudah menjadi suratan takdir, bahwa akhirnya Nawang sih yang cantik jelita itu dipersunting olah seorang pemuda tampn lagi ganteng, namanya Bondan kejawen. Dia adalah salah seorang putera Raja Majapahit yg terakhir. pada waktu itu kerajaan majapahit mulai runtuh. dan saudaranya laki-laki lain ibu bernama Raden Patah kemudian menjadi sultan Demak. untuk keselamatan dirinya Bondan prakoso…eh.. kejawen pergi menyingkir ke arah barat. hingga sampai suatu waktu menetap di desa tarub. di desa tsb hatinya tertambat dan akhirnya bulan januari berkenalan dg Nawang wulan , bulan April keduanya melangsungkan pernikahan. menurunkan Raja-raja jawa pasangan Bondan dan Nawang dianugerahi seorang putera yg diberi nama Getas Pendowo atau kelak lebih dikenal dg sebutan Ki Getas Pendowo. sekarang makamnya ada di desa Tarub kec. Tawang Harjo kab. Grobogan jawa tengah . Adapun makam Joko tarub serta Nawang sih dan Bondan kejawen , tidak diketahui keberadaannya. ki Getas pendowo menurunkan seorang laki-laki yg bernama KI Ageng selo masih ingat kan cerita pintu bledek? ya…inillah aktornya . ki Ageng Selo adalah tujuh bersaudara. dia lelaki satu-satunya. adiknya yg enam orang perempuan semua, ; Nyai Ageng pakis lor , Nyai Ageng lurung tengah , Nyai Ageng jati , nyai Ageng Awedrengan , Nyai Ageng Mangsulan dan yg Terakhir Nyai Ageng Ngemplak. KiAgeng selo mempunyai 7 orang anak , semuanya perempuan kecuali yg terakhir laki-laki bernama Ki Ageng Henis laweyan makamnya di hastana laweyan solo . KI ageng henis laweyan berputera ki Ageng pamanahan. dia adalah penasehat politk sultan Hadiwijaya atau Joko tingkir adipati Pajang, bersama ki Ageng juru martani. Ki Ageng pemanahan inilah bapaknya Danang sutowijoyo , yang berhasil membunuh Aryo penangsang karena akan menyerang kadipaten pajang,. atas jasanya itulah adipati pajang memberi hadiah hutan mentaok. yang kelak akhirnya menjadi kerajaan Mataram. sumber ; Ki Ageng Selo menangkap petir, Utomo , yayasanparikesit Surakarta, 1983

AA A. Ki Ageng Selo lahir di abad -15 atau awal abad 16, di masa kecilnya, dia memiliki nama Bagus Songgom, dan merupakan keturunan Ki Getas Pandawa . Kisah Ki Ageng Selo dengan kesaktiannya bisa menaklukkan petir bermula saat dia membuka ladang, kisah ini terdapat dalam naskah kuno Serat Kandha.

 Berita Nasional Kamis, 30 Juli 2015 - 0641 WIB - Ada yang berbeda di pintu masuk Masjid Agung Demak. Di sana terdapat pintu yang dikenal dengan nama Lawang Bledheg pintu petir bertuliskan Candra Sengkala yang berbunyi "Nogo Mulat Saliro Wani", bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 Bledheg itu dihiasi ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang bergigi runcing, sebagai simbol petir yang pernah ditangkap Ki Ageng Selo. Dalam kitab Babad Tanah Jawi disebutkan, Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit, Brawijaya V. Pernikahan Brawijaya V dengan Putri Wandan Kuning melahirkan Bondan Kejawen atau Lembu Peteng yang menikah dengan Dewi Nawangsih, putri Ki Ageng Tarub, menurunkan Ki Ageng Getas Pendawa. Dari Ki Ageng Getas Pendawa lahirlah Bogus Sogom alias Syekh Abdurrahman alias Ki Ageng Selo. Makam ki Ageng selo di desa Tawang, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa masyarakat Jawa sampai saat ini apabila dikejutkan bunyi petir akan segera mengatakan bahwa dirinya adalah cucu Ki Ageng Selo, dengan harapan petir tidak akan menyambarnya.“Masyarakat di Jawa, khususnya di pedesaan masih percaya pada mitos ini, bila terjadi petir berteriak sambil berkata, "Gandrik! Aku Putune Ki Ageng Selo" “Gandrik, Aku cucu Ki Ageng Selo". Mengatakan kalimat itu sambil berdiri tegak dengan mengacungkan kepalan tangan ke langit,” ujar juru kunci makam Ki Ageng Selo, tentang penangkapan petir itu dituturkan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Alkisah , suatu hari Ki Ageng Sela yang tinggal di desa Tawang , Purwodadi, pergi ke itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar atau bledheg menyambar persawahan, membuat warga desa yang di sawah pontang panting menyelamatkan diri. Tetapi Ki Ageng Sela tetap mencangkul sawah. Tiba-tiba dari langit muncul petir menyambar Ki Ageng. Petir itu konon berwujud seorang kakek-kakek. Ia segera menangkap petir itu.“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar,” kata Ki Ageng Selo kepada petir yang berada di tangannya. “Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu,” jawab petir. Oleh Ki Ageng Selo petir itu kemudian diikat di pohon Gandrik. Lega hati penduduk desa, mereka tidak takut lagi disambar petir jika ke sawah. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya. Ia tetap meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah hari sore, selesai mencangkul dia pulang sambil membawa petir tadi. Keesokan harinya dia ke Demak, “ bledheg “dihaturkan kepada Sultan Trenggana di Demak. Oleh Sultan Trenggana, “bledheg“ ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur mengenang kejadian itu, dibuat gambar kilat pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Pintu itu masih bisa dilihat hingga yang menjadi legenda itu masih menjadi tanda tanya sampai sekarang. Kisah itu hanya sekedar dongeng atau sebuah cerita yang mempunyai makna yang ternyata petir bisa meninggalkan jejak di tanah, mungkin dalam kisah itu tangkapan Ki Ageng Sela adalah jejak petir yang berupa batu petir fulgurites yang berbentuk seperti akar-akar atau tanaman yang tak beraturan. Maka, dalam cerita Ki Ageng Sela, dikisahkan bahwa petir bisa diikat. ren Kisah Pelukis Arwah Si Manis Jembatan Ancol Aneh tapi nyata, namun begitulah faktanya. 19 Januari 2016 Untukpara keturunan dari Cirebon (keturunan dari Syaikh Syarief Hidayatullah/Sunan Gunung Djati) juga terdapat tanda khusus selain tanda "Tri Tangtu Sundabuwana" ini, yaitu berupa tanda Goro - Goro Menurut Alqur'an

403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID dvNd6i9UEAQnpwTQI1b-FVnZzP9sjw6eb-3rxRLjO6Fm9BaY6_oNdA==

Dikutipdari situs resmi Kabupaten Grobogan, grobogan.go.id, Babad Tanah Jawa menyebut Ki Ageng Selo adalah keturunan Prabu Brawijaya V. Ayahnya bernama Ki Ageng Getas Pandowo memiliki tujuh anak antara lain Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Ukiran Lawang Bledheg di Masjid Agung Demak. Dok. Supatmo. Film Gundala 2019 garapan sutradara Joko Anwar tengah tayang di bioskop. Penciptaan Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir. Dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik. Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang. Baca juga Gundala Bukan Jagoan Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang. Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas kasekten tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.” Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran lung, jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api. Baca juga Gundala, Ikon Superhero Indonesia Lawang bledheg sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet chronogram dibaca “naga mulat salira wani” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466 M. Tahun tersebut diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak. Lawang bledheg memiliki makna lain selain sebagai penggambaran kisah Ki Ageng Selo. Supatmo dalam "Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak" yang terbit di Jurnal Imajinasi, September 2018, menyebut Lawang Bledheg berisi makna simbolis nilai-nilai pra-Islam. “Dalam dimensi ikonografis, keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam Jawa, Hindu, Buddha, dan China pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa awal budaya Islam di Jawa Demak,” tulis Supatmo, dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang. Keturunan Raja Brawijaya Menurut Soetardi dalam Pepali Ki Ageng Selo, Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. “Sebabnya dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat,” tulis Soetardi. Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo berkeinginan mendirikan kerajaan sendiri. “Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya,” sebut Soetardi. Baca juga Raja Demak Terakhir Dimakamkan di Banten Ki Ageng Selo kemudian pergi ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam ilmu agama, filsafat serta ilmu untuk memperluas pengaruh kepada rakyat. Dia di kemudian hari benar-benar menjadi orang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan. Keinginannya mendirikan kerajaan sendiri terwujud oleh cicitnya, Sutawijaya. Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar merupakan pendiri Kerajaan Mataram kedua atau Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada 1587-1601 M. MenilikCiri Keturunan Prabu Siliwangi Padjadjaran ini, yaitu terdapat ciri khas yang dapat dilihat secara kasat mata/lahiriyah untuk para keturunan Padjadjaran berupa tahi lalat yang membentuk seperti segitiga (untuk seseorang yang masih ada keturunan dari ciriciri keturunan ki ageng selo, murid sunan kalijaga yang paling sakti, Wasiat nabi khaidir k aceh, ciri fisik keturunan raja mataram, ciri ciri keturunan raden patah, tempat angker di purbalingga, datok larang tapa, Siapa mas yanto turunan siliwangi, Sbetzbergen, lemuria Ciriciri "Man" yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah: a) Sujud dengan taat Keterkaitan Antara Dinasti Majapahit Dengan Nabi Ibrahim Sang Aki Bajulpakel bin Aki Dungkul bin Ki Pawang Sawer bin Datuk Pawang Marga bin Ki Bagang bin Datuk Waling bin Datuk Banda bin Nesan) . A Ki Ageng Selo Leluhur Kraton Mataram. Masyarakat petani yang tinggal di pedesaan sangat akrab dengan Ki Ageng Selo yang memiliki kesaktian tinggi. dalam sejarahnya Ki Ageng Selo dapat menangkap petir. Dengan mengucapkan aku iki putune Ki Ageng Selo petani yang bekerja di sawah terhindar dari halilintar yang menyambar. qnex.
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/451
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/173
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/104
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/88
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/449
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/366
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/16
  • 87kg2o6t1r.pages.dev/87
  • ciri ciri keturunan ki ageng selo